Siapa Sebenarnya Yang Gila?

 Siapa Sebenarnya yang Gila?

Orang-orang desa itu terlihat kuwalahan, tergesa-gesa membopong orang dengan gangguan jiwa yang di temukan mengamuk tadi pagi. “Cepat! cepat! kita pasung dia!!.” Orang dengan gangguan jiwa itu meronta-ronta berteriak minta di bebaskan. Ia menggeram bagai kesurupan, membuat anak-anak kecil yang menontonnya takut dan lari terbirit-birit tapi juga penasaran dengan apa yang di lakukan orang-orang dewasa di depannya. Tampak orang tua yang pasrah mengiringi orang dengan gangguan jiwa itu yang di masukkan ke gubuk lusuh tak berpenghuni. Cepat-cepat para warga memasung kedua tangan dan kaki orang gila tersebut dan membungkam mulutnya. “Rasakan!, kamu pantas di tempat seperti ini dasar gila!”. Orang gila itu hanya meronta-ronta minta di bebaskan.

Terlihat orang tua yang mengiringi tadi sesenggukan di samping orang gila itu. Air matanya tumpah seketika setelah warga desa pergi meninggalkan tempat orang gila di pasung. “Kenapa kau seperti ini nak…” Orang tua itu sepertinya adalah ibu dari orang gila perempuan yang di pasung itu. Tak sanggup melihat anaknya di kurung di tempat gelap dan kumuh seperti itu, orang tua itu segera pergi karena tak tahu harus berbuat apa. Anak-anak masih asyik mengerubungi tempat itu, penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan nasib orang gila itu selanjutnya. Anak yang lainnya merasa itu memang sudah seharusnya, orang tidak waras berada di tempat seperti itu, supaya tidak mengganggu.

Keesokan harinya ada seorang pemuda datang berkunjung ke desa itu. Dia mengunjungi rumah orang tuanya yang berada di desa untuk melepas rindunya kepada kedua orang tuanya. Selama ini dia bekerja di kota menjadi seorang psikiater, membuat ia sibuk tidak sempat untuk pulang setahun sekali ke kampung halaman. Sudah tiga tahun ini dia tidak pulang ke kampungnya. “Kamu tahu Nak, kemarin putri dari mbok Yem di pasung karena tiba-tiba mengamuk pagi-pagi. Sungguh kita tidak dapat mencegahnya, itu sudah kebijakan warga desa. Kasihan mbok Yem, ia merasa terpukul dan malu Sri di pasung oleh warga desa.”

Terkejut mendengar hal itu, pemuda yang bernama Andi itu sangat tahu siapa itu Sri, dia adalah teman SD nya dulu. Ia tidak beruntung harus menikah di usia muda. Menurut cerita, ia mengalami gangguan kejiwaan akibat hamil muda namun ia keguguran karena rahimnya belum kuat untuk memulai kehamilan. Sri adalah anak yang penurut, ibunya sangat miskin dan janda sehingga tidak bisa menanggung beban Sri yang padahal adalah anak satu-satunya. Jalan keluarnya adalah menikahkan Sri dengan laki-laki dengan selisih umur sangat jauh dengannya. Namun Sri yang malang itu di tinggalkan dengan perselingkuhan yang suaminya lakukan. Ditambah lagi keguguran, hal itu cukup beralasan mengapa sekarang hidupnya menjadi seperti itu.

Ini tidak seharusnya terjadi pada temannya, Andi langsung menemui Kepala Desa esok harinya untuk meminta Sri di bebaskan, di bawa ke tempat yang lebih layak, namun Kepala Desa menolaknya. “Mau di bawa kemana? Rumah sakit jiwa? ibunya saja tidak akan mampu membiayai anaknya. Dia sudah cukup membuat onar di kampung ini. Jangan coba-coba kamu membebaskannya. Walau kamu dokter jiwa atau apalah itu orang-orang di sini tidak  peduli. Sri akan segera di adili karena dia adalah aib kampung ini”. Tidak bisa di biarkan, batin Andi. Memang kampungnya ini sangat tidak melek dengan kesehatan psikologis masyarakatnya.

Orang kampung menganggap jika salah satu warganya gila itu adalah aib. Ini juga yang melatar belakangi Andi menjadi psikiater, ia ingin desanya sadar dengan kesehatan mental. Namun keadaan masih belum memungkinkannya untuk balik ke kampung, makanya ia bekerja dahulu di kota. Mungkin nanti dia akan membangun semacam penampungan atau yayasan khusus orang gila di kampungnya. Memperbaiki moral masyarakat. Mendengar kasak-kusuk dari tetangga sekitar, sepertinya besok malam Sri akan di bawa ke hutan tempat pembuangan orang-orang gila. Hutan memang biasanya adalah tempat yang digunakan untuk sapu bersih orang-orang dengan gangguan jiwa.

Mereka akan dibiarkan hidup di situ sampai mati dengan sendirinya. Di hutan tidak ada makanan sama sekali, tidak heran jika ada mayat orang-orang gila bergelimpangan di hutan. Pemerintah saja kadang juga suka memindahkan orang gila ke kota lain, supaya kota sendiri bersih dari orang gila. Sungguh ironis, orang-orang gila itu sepertinya bebas berkeliaran dimana-mana, padahal sejatinya kebebasan dari orang gila itu sudah di atur orang-orang yang mengaku dirinya waras. Keesokan malamnya, beberapa orang suruhan warga desa setempat diperintahkan untuk mendatangi gubuk Sri di pasung. Namun mereka kaget tidak ada siapa-siapa di situ. Orang-orang itu langsung lari dan berteriak “Sri kabur!!” untuk memberitahukan kepada warga desa.

Seketika kampung menjadi gempar dan marah. Siapa yang telah membebaskan Sri. Andi melajukan motornya dengan kencang, ia ingin membebaskan Sri dari warga desa dengan membawa Sri kabur. Ia tidak tahu apa yang di lakukannya ini salah atau benar. Tapi yang pasti ialah yang benar. Ia akan membawa Sri ke rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan penanganan yang tepat. “Aku bebas, aku bebas! hahahaha.” teriak Sri di boncengan belakang. Apa arti dari kebebasan itu sendiri, apakah dengan mengekang orang yang lebih rendah dari kita. Bukankah itu sama halnya dengan mengekang kebebasan orang lain, hak asasi orang yang lebih rendah dari kita. Kebebasan adalah jika kita memberi hak orang lain dan tidak mendiskriminasinya. Kebebasan adalah membantu orang yang lebih rendah dari kita. Sejatinya siapa sebenarnya yang gila?.

Titimangsa

28 Agustus 2020


Sebenernya cerpen ini untuk lomba cerpen tema kebebasan yang diadakan oleh Ruang Nulis. Mungkin karena kurang pas aja ya sama tema, atau gimana, ini cerpen nggak kepilih jadi kontributor antologi. Nggak apa-apa juga sih, lumayan bisa kuterbitkan secara solo disini ehehehe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisa Bahasa Inggris, sih, Tapi Nggak Pro

Review Film Kereta Berdarah (2024)

Arti Sebuah Kehilangan