Angan yang Tak Direstui Takdir

Angan yang Tak Direstui Takdir


Terik matahari tak membuat kedua anak kecil yang terlihat masih bersemangat sekali mengais-ngais sesuatu. Peluh membasahi pipi mereka berdua. Namun, teriknya matahari seakan diabaikan begitu saja. Anak kecil laki-laki dan perempuan itu terlihat membawa karung lusuh sedang mengais-ngais tempat pembuangan sampah yang ada di depannya. Terlihat pakaian lusuh yang mereka kenakan sudah basah oleh keringat. “Udah nih Je, kita pulang, yuk.”

Anak perempuan itu berkata kepada anak laki-laki yang dipanggil Je untuk menyudahi pekerjaannya. Mereka kemudian pergi dari tempat pembuangan sampah itu. Berjalan santai di sepanjang jalan dengan wajah tidak ada kesenduan sama sekali. Mereka terlihat tertawa-tawa bergembira dan saling bermain kejar-kejaran. Sepertinya apa yang mereka cari sejak tadi pagi sudah membuahkan hasil banyak.

Mereka menuju ke rumah atau lebih tepatnya gubuk lusuh dengan bersenandung riang. Hari masih menunjukkan pukul sembilan pagi, anak laki-laki dan perempuan itu menyerahkan hasil pencarian mereka yaitu berupa botol atau barang bekas yang bisa dijual kepada orang tua masing-masing. Kemudian berlari kembali dengan muka khas anak-anak tanpa beban menuju jalanan. “Hati-hati Jedi dan Jeni.” Orang tua dari anak perempuan yang bernama Jeni itu berkata hati-hati kepada mereka.

Mereka berdua menuju pasar besar yang penuh dengan lalu lalang orang. Mengamati sekitar dan melihat sekeliling. “Perlu bantuan Buk?” sapa Jedi kepada ibu-ibu yang membawa belanjaan banyak dari pasar. Terlihat ibu itu membawa beberapa tas kresek besar dan terlihat kepayahan. Ibu itu dengan senang hati menerima tawaran dari kedua anak kecil itu. “Terima kasih Nak,” ucap ibu paruh baya itu sesampainya di parkiran angkot. Barang-barangnya sudah dipindahkan ke dalam angkot oleh supir yang juga membantu.

Ibu tersebut lalu menyodorkan lembaran uang seratus ribu kepada Jedi dan Jeni. “Terima kasih Bu, tapi kami menolong ibu dengan ikhlas” Jedi menolak pemberian ibu tersebut namun Ibu tersebut terus memaksa. Tiba-tiba Jeni mengambil uang ibu tersebut dan bilang terima kasih. Jedi menyuruh uangnya di kembalikan karena merasa menolong dengan pamrih. Lalu Jeni hanya kabur, lari sambil melet kepada Jedi. “Eh kamu ya, kembaliin!.” Jedi berusaha mengejar Jeni. Ibu yang telah ditolong tadi hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Kalau nolong orang itu yang ikhlas!” sindir Jedi kepada Jeni setelah berhasil mengejar Jeni yang berlari menaiki tangga menuju pasar di lantai atas. “Biarin! kalau ibu-ibu itu kasih ya kita harus terima, ini ‘kan rezeki wleee.” Mereka sibuk mau berdebat.

Namun sudah terdengar teriakan seseorang yang berada di lantai bawah. “Pencuri, pencuri!!!.” Beberapa orang pria mencoba mengejar pencuri yang berlari ke arah gang sempit di pasar, mencoba untuk kabur.

“Ayo Jen kita tangkap malingnya,” seru Jedi. Namun Jeni hanya bingung dan mengikuti Jedi yang sudah berlari sambil bertanya caranya bagaimana. Jedi membeli sekantong kelereng dengan uang yang diberikan ibu-ibu yang sudah di tolongnya tadi. Kemudian ia lari menuju jendela gedung pasar di lantai atas. Ternyata dari jendela itu dapat terlihat gang sempit yang ada di bawah. Tepat sekali, saat pencuri itu juga lewat sana sambil berlari. Ia merasakan sakit saat tiba-tiba menyadari ada yang menghujaninya kelereng dari atas jendela gedung pasar.

Pencuri itu tidak tahu siapa bedebah yang telah berani main-main dengannya. Dia malah terpeleset di gang yang becek itu akibat mencoba menghalau kelereng dari atas. Dengan cepat pencuri itu ditangkap oleh beberapa warga yang sudah mengejarnya. Jedi dan Jeni yang telah melakukan perbuatan itu merasa senang dan puas. Mereka terkekeh geli waktu melihat adegan terpelesetnya si pencuri. Mereka menganggap hal itu lucu.

Keesokkan harinya adalah hari Senin. Waktunya anak-anak sekolah untuk bersekolah kembali setelah kemarin hari Minggu adalah libur bagi anak sekolah. Seperti biasa, Jedi dan Jeni berangkat bersama saat akan pergi ke sekolah. Mereka selalu ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak satu kilometer rumah mereka ke sekolah, tidak membuat penat sama sekali. Mereka selalu bersenandung ria saat perjalanan ke sekolah.

“Hai Jeje!,” sapa anak perempuan yang sepertinya teman dari Jedi dan Jeni. Entah mengapa teman sekolahnya suka iseng memanggil mereka berdua dengan nama awal digabungkan. Mungkin karena suku kata nama awal mereka yang sama membuat mereka mempunyai nama kembar, padahal bukan anak kembar.

“Kalian itu so sweet banget deh, kemana-mana berdua terus Ica jadi iri tahu.” Gadis kecil yang menyapa Jedi dan Jeni tadi pagi di gerbang sekolah mulai berkata kepada Jedi dan Jeni. Gadis kecil yang bernama Ica ini terlihat manis dan terawat, tadi di sekolah juga diantar supir naik mobil mewah.

“Siapa tahu kalian jodoh loh,” celetuk Ica.

“Apaan sih Ica imut, kita ini tetanggaan, wajarlah kalau sama-sama terus. Lagian masih kecil kok udah ngomongin jodoh aja,” jawab Jeni sambil mencubit pipi tembam Ica yang sangat manis.

***

Tak terasa sudah 17 tahun berlalu Jedi dan Jeni bersama-sama. Kini hidup mereka tidak seperti masa kanak-kanak dahulu. Namun mereka mengenang masa kanak-kanak dahulu adalah masa termanis yang pernah mereka lalui bersama-sama. Jedi di sekolah selalu berprestasi. Walaupun kapasitas Ica biasa-biasa saja, berada di dekat Jedi selalu membuatnya mendapatkan keberuntungan.

Jeni sempat beda SMP dengan Jedi. Namun mereka dapat berada di SMA Favorit bersama-sama dengan upaya keras Jeni untuk bisa masuk SMA tersebut. Mendaftar kuliah yang sama walau dengan jurusan yang berbeda. Selama ini Jedi selalu beruntung karena dengan mudah bisa mendapat beasiswa dengan otaknya. Namun Jeni harus berusaha sekeras mungkin mendapatkan beasiswa karena kapasitas otaknya tidak sebaik Jedi. Jeni senang Jedi bersama dengannya dari masa sulit dahulu sampai masa keberhasilan mereka seperti sekarang.

Jeni mengusap tetes demi tetes air matanya yang telah jatuh. Dia sejak kecil selalu bersama Jedi. Berada di ruangan bercat putih dengan dekorasi serba putih dan abu-abu dengan berbagai bunga warna putih, entah kenapa hatinya kini malah sendu. Kebayanya yang berwarna abu-abu membuat penampilannya kini terlihat sangat cantik. Setelah berhasil menguasai emosinya ia keluar dari ruang make-up dan menuju aula.

Terlihat banyak sekali orang sudah ramai di aula hotel mewah tersebut. Memakai dress code senada dengan warna dekorasi gedung. Pasangan pengantin di panggung dekor depan menunjukkan mimik yang sangat bahagia dan berseri. “Selamat ya, Jedi, Ica,” ucap Jeni sambil memeluk kedua temannya itu. “Thank you Bu dokter, ciyeeee cepet nyusul ya,” jawab Ica. Jeni mencoba memasang wajah bahagia dengan pernikahan kedua teman kecilnya itu.

Perasannya yang sejak kecil ia pendam, perasaannya yang bertahun-tahun ia rasakan, kini harus ia relakan untuk pergi. Pada kenyataannya yang selalu bersama tidak mesti akan bersama. Semesta punya takdir lain. Sebagai makhluk kita harus siap kecewa menerima kenyataan yang tidak diinginkan. Ini adalah akhir bersama seorang yang dicintai Jeni sejak kecil. Saat ini hatinya harus siap untuk move on. Masa kecilnya memang yang terbaik, ia tidak akan pernah melupakan itu. Pada bunga yang sedang mekar, harus bersiap-siap untuk layu. Karena takdir tidak ada yang tahu.

Titimangsa

19 September 2020



Cerpen yang rencananya mau dijadikan antologi eventnya Wattpad Between Tribes (kepanjangan dari BT27 bukan BT21), tapi dibatalin karena kesibukan dari penyelenggaranya 😢. I'ts okay nggak apa-apa, kan bisa terbit solo disini. Selamat membaca pemirsa😆😇.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisa Bahasa Inggris, sih, Tapi Nggak Pro

Review Film Kereta Berdarah (2024)

Arti Sebuah Kehilangan